Raga yang Telah Tiada, namun Karya Tetap Hidup


Tanggal 18 Mei  2012, sosok yang sangat mencintai Indonesia itu akhirnya menutup mata untuk selama-lamanya. Sosok sarjana asing, tetapi  sangat tekun meneliti kebudayaan Indonesia, baik bahasa maupun karya sastra. Sosok hangat yang kaya ilmu ini memegang  peran penting  di dunia literasi, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, dan memiliki karya di antaranya: Indonesische Literatuur Tussen Twee Wereldoorlogen (1950), Hariwansa (1950), Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru I (1952), Dialectatlas van Lombok (1954),  Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru II (1955), A critical survey of studies on Malay and Bahasa Indonesia (1961), Modern Indonesian Literature I & II (Den Haag, 1967, 1979), Sastra Baru Indonesia I (1978), Tergantung pada Kata (1980), Kesusastraan Baru Indonesia (1980), Khazanah Sastra Indonesia (1982), Membaca dan Menilai Sastra (1983), Sastra dan Ilmu Sastra (1984 dan 1988), bersama Toeti Heraty, beliau menjadi editor buku Manifestasi Puisi Indonesia-Belanda (dwibahasa Indonesia dan Belanda, 1986), Sastra Indonesia Modern II (1989), Tergantung pada Kata (1990), Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1994), Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer (1997), Teori Sastra dan Penelitian Sastra, Yogyakarta: Makalah Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi UGM, dan “Sastra Indonesia, Pribumisasi, dan Novel Sastra” dalam Among Kurnia Ebo (Ed. Sastra di Titik Nadir, Bunga Rampai Teori Sastra Kontemporer (2003). Sosok yang murah hati ini memiliki rumah di Leiden adalah tempat singgah bagi banyak mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di Universitas Leiden. Sosok  yang berasal dari Belanda dan lahir di Gorinchem pada tanggal 12 Agustus 1921 ini bernama Profesor Andries A. Teeuw. Bagi para peneliti, kritikus dan pencinta sastra Indonesia, nama  A. Teeuw sudah tidak asing lagi.



A.Teeuw tertarik dengan bahasa dan sastra di Indonesia terjadi saat menempuh studi di Universitas Leiden dan Universitas Ultrecht. Teeuw memiliki keahlian bahasa Jawa Kuno. Pada tahun 1946, Bhomantaka adalah disertasi yang diajukan Teeuw. Datang ke Indonesia pertama kali sebagai ahli bahasa untuk mengadakan riset pada tahun 1949. Antara September 1949 dan Oktober 1950, Teeuw mengadakan penelitian tentang bahasa Sasak. Saya sebagai penutur asli bahasa Sasak dan juga pernah meneliti bahasa Sasak (2012) sangat kagum dengan hasil penelitian Teeuw. Dari beberapa peneliti  bahasa Sasak yang saya ketahui, Teeuw merupakan peneliti pertama yang objek penelitiannya adalah bahasa Sasak. Semua hasil penelitian Teeuw tertuang dalam laporan penelitian yang berjudul “Dialect Atlas Van/of Lombok (Indonesia).” Setelah menjadi doktor, Teeuw menjadi dosen tamu di Universitas Indonesia (UI, 1950-1951) dan di University of Michigan, Amerika Serikat, tahun 1962-1963.
Patut menauladani semangat dari Teeuw dalam berkarya. Hal ni terbukti sejak Teeuw aktif  di dunia akademik pada tahun 1940-an sampai bulan-bulan terakhir sebelum meninggal, Teeuw tidak pernah berhenti berkarya. Meski pensiun tahun 1986, Teeuw  tetap produktif menulis. Publikasi terakhirnya  yang ditulis bersama Willem van der Molen berupa sebuah artikel berjudul ”A Old Javanese Bhomântaka and its floridity” yang dipersembahkan untuk Prof. Lokesh Chandra (2011).
Kembali sebagai warga negara Indonesia, sudah seharusnya kita mengucapkan terima kasih dan mengenang jasa dan pengabdian Teeuw dalam pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Kini ragamu telah tiada, namun karyamu tetap hidup.

Referensi
Mahsun. 2006. Kajian Dialektologi Diakronis Bahasa Sasak di Pulau Lombok. Yogyakarta: Gama Media
http://hasrilpmp.wordpress.com/2009/01/19/linguistik-indonesia/
http://www.kitlv.nl/pdf_documents/in_memoriam_Prof_Teeuw_2_.pdf
http://nasional.kompas.com/read/2012/05/26/03561799/Kenangan.kepadamu.Terentang.dari

Komentar